Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

09 Februari 2009

Sepakbola, Stadion, dan Televisi

Cyber News : Seorang teman pernah menulis sebuah ulasan tentang Sajian sepakbola di televisi dan metode penyajiannya. Dia menyorot tentang narasi yang tersaji dari tayangan sepakbola di televisi tersebut. Dalam tayangan sepakbola, kita memang mendapat banyak fitur yang membuat penikmat siaran tersebut seperti mendapat “waktu tambahan” diluar waktu pertandingan selama 90 menit tersebut.


Meskipun durasi pertandingan tidak berubah tapi cutting shot dari berbagai sudut pertandingan yang mencover close-up ekspresi pemain, ekspresi pelatih, suasana Bench, dan close-up penonton di stadion memang membuat siaran sepakbola di televisi seperti memberikan waktu tambahan. Teman saya menyebut dengan istilah “Extended Time”.
Tentang “extended time”, seperti ulasan teman saya disini adalah salah satu feature yang sangat menarik dari sebuah tayangan sepak bola. Tapi dari pengamatan saya, tidak selamanya feature itu selalu memperkaya tontonan sepakbola, apalagi dianggap membuat tontonan live di TV menjadi lebih menarik daripada di lapangan. Ada beberapa tinjauan yang menurut saya harus dilihat :

1. Feature Stadion (khususnya di Eropa)

Pertandingan sepakbola terutama di stadion-stadion Eropa, sudah bisa dipastikan feature "extended time" bisa dirasakan penonton di stadion, karena hampir semua stadion di eropa di lengkapi dengan "Giant Screen". Kita sering melihat supporter sepakbola yang terkagum-kagum dan berteriak lebih histeris karena dia bisa tahu sedang masuk ke TV.

2.Extended time pada medium paralel tidak selamanya menguntungkan
Saya mencoba melihat “extended time” dari sisi yang berbeda Sebuah pertandingan sepakbola yang disiarkan langsung oleh televisi yang memiliki feature “extended time” tentu menjadikan beberapa kejadian ‘pertandingan sepakbola’ sendiri tidak terekam secara utuh. Editor harus memilih kamera mana yang akan dimunculkan yang berarti meninggalkan sebentar pertandingan di kamera utama. Itulah mengapa semua Talent Scout dan pelatih-pelatih selalu memilih menonton di stadion daripada di Televisi ketika dia harus membuat penilaian individu terhadap pemain, atau mencoba menganalisa strategi sebuah team.

Di stadion eropa, penonton bisa memilih sendiri tontonan yang akan diperhatikan, apakah alur bola (kejadian di lapangan), atau cover shot yang ditampilkan layar raksasa stadion yang sama dengan view siaran langsung. Ini sebenarnya uneg-uneg saya terhadap tayangan sepakbola dalam negeri. Sejak dahulu sampai sekarang komentar saya setiap melihat tayangan sepakbola Indonesia, baik level PSSI, atau liga adalah: “Indonesia belum mampu memproduksi siaran Sepakbola !!” Saya selalu mengeluhkan ini justru karena “extended time” yang menjadi feature “unggulan” itu.

Siaran Sepakbola Indonesia malah terasa terlalu memanfaatkan feature ini. Saya mencoba membandingkan dengan tayangan liga Inggris, karena menurut saya produksi siaran sepakbola liga inggris saat ini yang terbaik. “Extended time” dari uraian teman saya adalah sebuah alternative screen atau cover shot yang memperlihatkan sisuasi lain di lapangan, seperti medium shot dari ekspresi pemain, suasana “bench”, replay kejadian di lapangan dan suasana stadion beserta supporternya. Intinya adalah camera alternative disamping kamera utama yang selalu mengikuti bola dari sudut wide angle.

Di liga Inggris, saya hampir bisa memastikan pemunculan feature “extended time” hanya terjadi pada saat bola “mati”, sehingga continuity dari alur bola dapat terjaga dengan baik. Kejadian paling menarikpun akan di replay saat bola sudah mati. Misalnya kejadian kiper yang berhasil menghalau bola keluar dari sebuah tendangan volley Wayne Rooney, begitu bola “out” maka replay dan jika memungkinkan reverse angle dan ekspresi pelatih yang gregetan muncul. Kamera kembali ke lapangan saat bola melayang di udara yang kita masih tahu bahwa itu adalah “ball kick” dari keeper setelah bola out tadi.


Di Indonesia, setiap kali ada shot on goal, hampir selalu langsung memperlihatkan replay (lebih dari sekali), reverse angle, dan ekspresi di bangku cadangan. Padahal, saat itu bola masih hidup. Halauan kiper berhasil di manfaatkan menjadi serangan balik.

Saya pernah mencak-mencak saat siaran partai PSIS lawan Persebaya di TVRI. Saat PSIS diserang dan terjadi dua kali tembakan ke gawang oleh striker persebaya yang berhasil di halau kiper, Kamera utama langsung di CUT untuk menampilkan reply, reverse angle, dan ekspresi yang menarik sekali memang. Tapi kejadian di lapangan (di kamera utama) adalah bola halauan kiper berhasil dimanfaatkan oleh Tugiyo untuk menjadi serangan balik dan GOAL!!. Momen tersebut hilang karena feature “extended time”. Memang ada reply goal itu, tapi sudah terasa hambar saat kita menyaksikannya.

Contoh kasus ini mungkin terlalu dramatis, tapi benar buat saya mengganggu sekali jika pemunculan feature “extended time” itu mengambil alih porsi sepakbola itu sendiri. Siaran sepakbola di eropa sangat memperhatikan ini dan mencoba mengakomodir semampunya.

3. Penempatan alternative kamera yang tepat dan terdukung oleh arsitektur stadion / lapangan.
Dalam sebuah produksi sepakbola, menurut saya porsi pertandingan itu sendiri harus menjadi menu utama. Yang saya maksud dengan menu pertandingan ini adalah alur serangan, penempatan posisi pemain, passing bola dan penerapan strategi. Tentu ini hal yang sangat susah untuk di cover oleh camera televisi secara utuh. Maka sangat diperlukan kamera dalam jumlah yang banyak. Editor tentu harus sangat mengerti tentang sepakbola untuk dapat membuat sajian yang enak terhadap penikmatnya dalam siarang langsung.

Penempatan kamera juga harus sangat mendukung untuk memudahkan sang editor memilih shot dalam kurun waktu yang singkat ini. Di Eropa, hampir seluruh stadion arsitekturnya sudah menunjang untuk penempatan kamera secara strategis. Mungkin hanya beberapa stadion kecil di Italy yang masih kurang mendukung.

Feature “Extende time” yang paling menarik dan sangat bermanfaat bagi penonton dan juga buat pengamat pertandingan adalah kamera wide di antara garis tengah lapangan dan kotak penalty. Kamera ini sangat mutlak diperlukan demi suguhan yang menarik. Fungsinya adalah menembak garis lintang lapangan untuk mendeteksi offside accident. Kamera ini sangat membutuhkan arsitektur lapangan yang di desain berpola garis-garis melintang. Garis-garis lapangan yang melebar yang membuat rumput seperti kue lapis hijau ini adalah sebuah konsep dukungan terhadap tayangan sepakbola dan untuk mempermudah hakim garis dalam menentukan offside accident. Jadi kalau ada lapangan yang garis-nya memanjang (ini pernah terjadi di senayan Jakarta) berarti belum bisa memanfaatkan fungsi dari garis-garis tersebut. Ini salah satu bentuk dukungan arsitektur lapangan dan kamera televisi.

Kejadian “extended time” yang memutus continuity alur bola juga saya rasakan di pertandingan-pertandingan awal partai Worldcup 2006 ini. Mungkin karena pertandingan pertama dari masing-masing Negara jadi pengarah acara masih ingin memperlihatkan suasana stadion, ekspresi pelatih dan ekspresi pemain cadangan. Tapi di pertandingan putaran kedua dan seterusnya, “gangguan” ini semakin sedikit dan alur bola bisa dinikmati dengan lebih nyaman. "Extended Time" yang menjadi feature unggulan tayangan sepakbola di TV sebaiknya juga harus memperhatikan timing pemunculannya, karena bagi sebagian orang, memperhatikan pertandingan secara utuh (terjaga continuity-nya) sangatlah berharga. Semoga ada orang TV yang membaca ini. (By : Peculiarsituation)

0 komentar:

Posting Komentar